Rabu, 03 Maret 2021

Tiny House Movement

Jay shafer menyebut dirinya sebagai seorang “claustrophile, ” atau penyuka kesempitan. Selama lima tahun sebelum menikah dan punya anak, dia tinggal di rumah seluas tak lebih dari 12 m2. Rumah tersebut dia bangun sendiri di dalam truk kontainer miliknya. 

Mulanya, shafer tak berencana untuk menetap di sana. Namun, perubahan musim dan kehidupan nomaden yang dijalaninya mengharuskan shafer untuk beradapsi dengan memasang alat insulasi di bagian dalam truk untuk menghadapi gangguan cuaca yang tidak pasti. 

Shafer tak lantas merombak bagian truk begitu saja. Dia membuat gambar rancang terlebih dulu yang berujung menjadi cetak biru desain rumah idamannya—rumah yang berorientasi pada efisiensi ruang dari pemanfaatan lahan yang begitu minim. 

Sampai akhirnya pada tahun 1999, shafer sukses menyulap truk rekreatif miliknya menjadi sebuah rumah pantas huni. Tiga tahun setelahnya, dia digandeng greg johnson, shay Solomon, dan nigel vandez untuk mendirikan perusahaan properti tumbleweed tiny house company yang berfokus pada bikinan dan pengembangan teknologi untuk pembangunan rumah mini. 

Rumah mini pertama yang dibangun shafer memang tak seberapa Indah. Dari Kenampakan fasadnya, rumah tersebut terlihat seperti kabin suram dan berhantu yang kerap diilustrasikan dalam buku cerita anak-anak. 

Tetapi, cerita pengalaman bermukim di dalamnya menarik perhatian banyak orang dari berbagai kota di belahan amerika serikat. Mereka berbondong-bondong datang ke iowa untuk mengintip seperti apa rupa interior dan bagaimana cara jay shafer bertahan hidup di rumah mini tersebut. 

Bersemangatme ini lantas melahirkan sebuah gerakan akar rumput bernama small house society yang diprakasai langsung oleh shafer dan johnson. Gerakan ini tidak cuma berangkat dari kemungkinan untuk tinggal di Tengah keterbatasan, tetapi juga keinginan menjinjing semangat pola hidup yang lebih simpel dan jauh dari kerepotan. 

“disamping saya tidak membutuhkan apapun selain apa yang saya miliki, saya sungguh Setuju akan pemikiran mendahulukan mutu daripada kuantitas, ” ujar shafer dalam wawancaranya bersama oprah. 

“hidup serba minim semacam ini sesungguhnya begitu mewah, dalam artian waktu yang saya miliki lebih banyak dari yang saya punya sebelumnya. Saya tidak perlu buang-buang waktu memikirkan cicilan rumah atau kerepotan membersihkan rumah. ”

“kualitas di atas kuantitas” merupakan perumpamaan yang lebih dahulu didengungkan oleh arsitek asal Inggris, Sarah Susankan, melalui bukunya yang berjudul the not so big house. Partner bisnis shafer, greg johnson mengamini bahwa awalnya dia pun terilhami oleh konsep efisiensi yang ditawarkan Susankan di dalam bukunya. 

Tanpa perlu menjual gerakan tinggal di rumah mini secara lebih komersil, komunitas small house society kian berkembang secara organik. Hingga takdir akhirnya mempertemukan gerakan ini dengan semesta saat amerika serikat terhantam krisis ekonomi akibat kredit macet kepemilikan rumah di tahun 2008. 

Resesi ekonomi ini menghanguskan pasar properti rumah tapak dan apartemen sampai menjadi arang. Perspektif masyarakat kepada kepemilikan rumah berganti drastis; mereka tak lagi menilai rumah dengan persepsi yang serupa. Ini menjadi saat-saat besar bagi tiny house movement serta bisnis pembangunan rumah mini itu sendiri. 

Semenjak itu, buku-buku bimbingan hidup di rumah mini atau pembahasan lengkap keterampilan bikin rumah mini mulai bermunculan. Laman-laman internet tak henti merilis berbagai referensi desain rumah mini dan mengulik kisah para penghuninya. 

Melalui acara televisi tiny house nation dan tiny house hunter, rumah mini berubah menjadi rumah impian setiap orang. Acara ini tak ubahnya reality show bedah rumah di mana segmen puncaknya yang memperlihatkan hasil dari renovasi interior menjadi momen yang paling dinanti para penonton. Raut bahagia terpancar dari paras para peserta seakan mereka baru saja berhasil mendapatkan lotre untuk pindah ke rumah gedongan. 

Tak bisa dibantah kekurangan lahan sekarang ini menjadi persoalan serius yang menuntut solusi kreatif. Densitas kota yang semakin menggemuk semakin tak menyisakan ruang untuk generasi-generasi baru bermukim. Harga rumah dan apartemen yang dipasarkan developer semakin hari semakin meroket. 

Bagi siapapun yang fluktuasi bulanan pundi-pundi rekeningnya stagnan, mempunyai rumah ialah angan-angan yang muskil. 

Rumah mini kian terkenal karena dianggap sebagai alternatif ruang tinggal yang sanggup menjawab persoalan krisis lahan, harga properti yang sukar dinalar, penghasilan pas-pasan, dan tuntutan jaman yang sedemikian kompleks. 

Dilansir dari cnn america, laporan national association of home builders mencatat lebih dari setengah penduduk amerika serikat terpesona untuk tinggal di rumah berskala kurang dari 50 m2. Meningkatnya permintaan rumah mini di golongan milenial pada tahun 2018 pun naik hingga 63 persen. 

Tinggal di rumah mini memang dapat dilihat dalam Bingkai yang lebih luas. Tiny house movement sangat gampang diterima di kelompok para pencinta lingkungan karena minimalisasi penggunaan material menghasilkan emisi gas karbon yang lebih sedikit dari pembangunan rumah konvensional. 

Kecenderungan generasi terbaru untuk menjalani hidup dengan lebih praktis dan sebisa mungkin menjauhkan diri dari kerumitan cukup sejalan dengan rancangan simplisitas yang disediakan rumah mini. Kehidupan di luar rumah sudah terlampau pelik untuk menimbang-nimbang hal-hal kompleks seperti cicilan berintegral ke dalam rumah selama berpuluh-puluh tahun. 

Pun demikian, alasan mendasar untuk berbelanja rumah mini adalah harganya yang terjangkau. Pasalnya, untuk satu unit rumah mini bisa memotong 70 persen total ongkos untuk berbelanja rumah dari para pengembang properti. Konsultan bisnis curbed, jenny xie, mencatat paling tidak dengan membeli rumah mini, seseorang dapat berhemat sampai 250. 000 dolar amerika. 

Bayangkan, penghematan sebesar itu dapat dimanfaatkan oleh milenial untuk berlangganan layanan video streaming sampai akhir hayat turunan ketujuh. 

Namun, kelihatannya kemudahan ini akan kembali menjadi angan-angan belaka karena tiny house movement tak berhasil menengahi urusan utama dari tingginya harga properti, yaitu harga tanah. Ongkos konstruksi rumah mini begitu murah, tapi nilai tanah per meter terlanjur mahal. 

Fisik rumah mini tidak dibangun di atas tanah. Harganya murah justru berkat menanggalkan pendapat nilai jual tanah, tetapi rumah mini tetap memerlukan tanah atau lahan parkir untuk berpijak, dan itu tidak dapat diperoleh secara gratis. 

Hal ini sebetulnya dapat disiasati dengan hanya membeli sejengkal tanah yang muat untuk satu rumah mini, namum regulasi kepemilikan tanah di beberapa kawasan amerika serikat selama ini memberlakukan luas sekurang-kurangnya untuk membeli tanah, yang mana cukup mubazir untuk menampung rumah mini yang tentunya tidak seberapa besar. 

David latimer, arsitek sekaligus pendiri new frontier tiny homes, yang dewasa ini Kencang menyuarakan perubahan regulasi zonasi tanah residensial, menuntut pemerintah negara bagian nashville untuk segera mendesain regulasi baru demi masa depan pemukiman rumah mini. 

“pergantian regulasi berjalan lambat, padahal kami tidak meminta menempatkan kapal ruang angkasa di sebelah lahan rumah siapapun. Ini sebuah rumah, hanya lebih kecil saja ukurannya. Tapi, ini ialah pilihan ruang tinggal yang diseleksi banyak orang. ”

Pada akhirnya, berbelanja rumah mini atau rumah dari para developer besar sama-sama mengeluarkan ongkos yang menyedot kinerja otak dalam menelusuri cara melipatgandakan penghasilan bulanan yang stagnan, tanpa perlu mengubah gaya hidup yang terus bersukacita dalam membelanjakan uang demi kebahagiaan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Pertimbangkan prioritas apa yang perlu diprioritaskan saat berbelanja rumah supaya impianmu memiliki rumah impian tetap menjadi Kenyataan.